Jurnal Pembangun Sebuah Dinasti

hujan

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/05/2007

aku tak ingat persis kapan aku mulai bisa terharu saat melihat hujan. seperti kebanyakan anak kecil yang lain, hujan hanyalah kesenangan dan ketakutan pada saat yang sama. senang bisa bermain air. siapa yang mencintai air lebih tulus dari seorang anak kecil? takut dimarahi ibu sesudah hujan reda.

bukan keharuan tentunya. ini jelas perasaan yang sudah agak pelik. ini jelas perasaan yang hanya dikenal orang yang sudah pernah kalah dan menyadari arti kekalahan. dalam perkenalan awalku dengan sajak, aku begitu mencintai benda-benda. pengaruh kawan, mungkin. waktu itu memang demam mannaisme tengah melanda selasar kampus.

aku kerap tersipu-sipu sendiri saat membaca puisi-puisi zaman romantik dari dosenku. kok ada ya orang nggak malu ngomong tentang bunga, awan, musim, cuaca, dan fenomena alam lainnya? tapi otakku tertimpa badai saat membaca paragraf pembuka prosa salah seorang kawan yang begitu aku kagumi, orang yang sama yang menunjukkanku keluasan benda-benda. kalimat ini yang mengacak-acak kepalaku: “yakinlah, sayang, itu aku yang mengirimimu hujan.”

semenjak itu aku melihat bahwa tak ada yang memalukan dari alam. alam juga peka gaul. peka zaman. aku mulai mencoba menulis puisi tentang alam, meski tak pernah bagus hasilnya. tak lama kemudian, karena sebuah kejadian yang dramatis, aku sudah sering menyebut-nyebut tentang bau tanah basah. dan seiring dengan semakin banyaknya kejadian dramatis yang mendatangi hidupku, aku mulai terharu melihat hujan. tak perlu di gunung dengan banyak tanah resapan. bisa juga di bawah jembatan layang di sela-sela pengendara motor lain yang berteduh.

dan, tampaknya, hujan juga sering terharu melihatku. aku bahkan merasa hujan mulai jatuh cinta padaku sejak awal mei tahun lalu. dan hujan adalah kekasih yang baik. dengan demikian dimulailah rentetan keharuan. apalagi yang bisa ditawarkan hujan pada seorang pegawai sepertiku? aku berusaha mengajaknya bicara baik-baik bahwa aku ingin dia berhenti. aku mencintai kemurungan, tapi bukan sampai mati. tapi hujan adalah kekasih yang terlalu baik. bukannya marah padaku, dia malah menyalahkan dirinya dan, karenanya, malah memperhebat cintanya.

sampai sabtu kemarin. kubawa keharuan lain di atas motorku. perempuan, tentu. kubawa dia ke bukit di dekat kotaku. ya, hujan langsung melihat kami. hujan menderu-deru seperti kekasih yang cemburu. hujan menggeram-geram selama 6 jam. hujan memukul-mukul sejak berangkat sampai pulang. hujan rupanya sudah mulai bisa membenciku.

joya, siap berhujan-hujan lagi?

Leave a comment