Jurnal Pembangun Sebuah Dinasti

Anak = Agama Baru

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 04/16/2015

Punya anak itu seperti memeluk agama baru. Fanatik dan tak bisa berhenti membicarakannya dengan orang lain. Jadi harap maklum ya

Eulogi untuk Kawan Jauh

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 04/07/2015

Terus terang saya tidak berkawan dekat dengan Pak Budi Prasetyadi. Saya sudah memperhatikan beliau jauh sebelum saya dekat dengan kawan2 DKV. Saya sering melihat beliau di mulut gang Siwalankerto menunggu bemo atau menyantap bakso di El Munar. Penampilan beliau mewakili bayangan masyarakat Indonesia soal seniman, dan karenanya mudah menarik perhatian di kampus saya yang oh-sungguh-demikian mainstream. Ketika, karena kecelakaan sejarah, saya menjadi dekat dengan penduduk DKV, kami akhirnya resmi berkenalan.

Beliau tergolong pendiam, paling tidak dibanding saya yang merasa linu-linu kalau tidak bicara. Oleh sebab itu pengetahuan saya tentang beliau juga terbatas. Kebanyakan yang saya tahu soal beliau bersumber dari Mas Piyok, yang, seperti saya, doyan nggombes. Mas Piyok sendiri mengagumi semangat dan keterampilan beliau, dan juga sebaliknya. Pak Budi juga sering pergi ke warung Imron menjelang maghrib bersama Bapak Dosen Sepuh yang saya lupa namanya. Dalam perngobrolan segitiga ini pun, Pak Sepuh dan saya yang lebih banyak ngumbar swara. Pak Budi adalah pendengar yang baik, beda dengan saya.

Hal lain yang saya tahu adalah beliau sering mondar-mandir menggotong cat bersama Pak Obed, Mas Piyok, Pak Anang, dan insan lainnya yang, entah kenapa, percaya bahwa mengoret-oret tembok kota adalah semacam tugas nasional atau bahkan jihad. Atas jasa baik Pak Bing, jihad ini berlanjut ke rumah saya menjelang kelahiran putri saya Allegra satu tahun yang lalu. Pak Budi dan para jihadis tembok ini memberikan kado mural manis untuk putri saya. Ada satu kejadian yang istri dan saya tidak pernah lupa: beliau bisa memanjat selihai ular. Selain peristiwa mural itu, beliau beberapa kali lagi ke rumah saya bersama kawan2 DKV. Saya sendiri belum pernah satu kali pun ke rumah beliau. Pak Budi adalah kawan yang setia, beda dengan saya.

Ingatan saya yang terakhir tentang beliau adalah melihat beliau menunggu bemo saat liburan mahasiswa. Saya berhenti dan mengangkut beliau ke kampus. Menghilangkan kekikukan, saya bertanya kok beliau masih ke kampus padahal mahasiswa masih libur. Saya tahu Pak Budi adalah dosen LB yang tidak berkewajiban ke kampus saat libur mahasiswa. Beliau bilang mau melihat dan membantu mahasiswa mengerjakan mural. Duh, Gusti, paring pangapura … Pergi ke kampus di hari libur, dengan angkutan umum, belum opernya, susah dikunyah oleh logika SKS dan slip gaji saya. Beda dengan saya, soal pekerjaan, Pak Budi sudah manunggal; lepas dari lingkaran kewajiban dan hak; sudah makrifat.

Menjelang saya berangkat studi lanjut, saya mendapat kabar dari kawan-kawan bahwa beliau opname, mengalami gagal ginjal, dan harus rutin cuci darah. Konon beliau terlalu lama mengkonsumsi obat antibiotik untuk menyembuhkan tangannya yang cedera parah karena kecelakaan. Sebagai kawan yang buruk, saya tidak sempat membezook dan hanya melihat foto2nya. Setelah itu saya pergi studi dan lupa.

Satu minggu yang lalu saya melihat foto beliau dengan kawan2 di lini masa. Saya bertanya bagaimana keadaan beliau. Saya tidak menerima jawaban sampai dua hari kemudian Pak Obed mengumumkan beliau sudah tutup usia.

Hari ini saya ingin ganti membalas mencoret tembok Facebook beliau. Tidak bisa, karena ternyata saya belum pernah melamar menjadi kawannya. Pepatah Inggris mengatakan, “birds of the same feather flock together”. Burung dengan bulu yang sama berkumpul. Masih banyak yang perlu saya kerjakan supaya mempunyai bulu yang sama dan layak menjadi kawan dekat beliau. Orang yang baik.

Terima kasih, Pak Budi, sudah menjadi contoh yang jauh.