Jurnal Pembangun Sebuah Dinasti

Awet Muda

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 04/24/2016

Sejak kecil saya selalu disebut “muka boros” (keluh) atau “berwajah matang” (bohong!). Waktu kecil tentunya ini bukan masalah, bahkan sebuah keuntungan karena kebanyakan anak kecil ingin dianggap anak besar. Sampai usia 17 tahun pun, saya masih ingin dianggap lebih tua dan dapat menikmati privilese orang2 dewasa. Semuanya berbalik, seingat saya, setelah usia 25 tahun. Umur tiba-tiba rasanya bertambah dengan sangat cepat dan komentar-komentar tadi menjadi hal yang mulai bermakna. Bukan begitu, kawan2?

Hidup di UK ini membawa penghiburan besar bagi orang2 yang teraniaya seperti saya. Ketika merayakan ultah saya pada bulan November 2014, saya mengajak kawan satu flat untuk merayakan kecil2an di tempat minum di kampus. Awalnya kawan saya dari Nigeria, anak S1, baru 18 tahun, yang memesan bir untuk kami bertiga. Setelah tandas, ganti saya yang memesan untuk putaran kedua. Sang bartender meminta saya menunjukkan ID card. Kebingungan, saya bilang saya tidak punya karena bukan warga negara UK. Saat dia tanya apa ada paspor, saya bilang tidak bawa. Untungnya, sang bartender menerima SIM Indonesia saya. Dia meminta maaf setelah melihat tanggal lahir saya dan memuji saya AWET MUDA.

Rasanya saat itu juga saya ingin mengajak dia berlutut, membakar hio, dan mengadakan upacara pengangkatan saudara.

Kawan Nigeria saya menggerutu begitu mendengar cerita saya karena bartender tadi tidak meminta dia menunjukkan ID card. Sepulang dari situ saya mempelajari bahwa di UK usia legal untuk membeli alkohol adalah 18 tahun. Namun demikian ada kebijakan yang disebut Challenge 21 dan diikuti Challenge 25. Penjual berhak dan wajib meminta pembeli untuk menunjukkan ID jika diduga usianya di bawah 21 tahun atau 25 tahun. Kebijakan ini mencegah muka boros yang berusia di bawah 18 tahun memanfaatkan keborosannya untuk membeli alkohol dan barang2 sejenis. Artinya, keawetan muda saya tergolong absolut di sini.

Jadi, seboros2nya muka orang Indonesia, dan mungkin Timur Jauh lainnya, kita ini masih tergolong imut dan menggemaskan bagi orang2 Eropa. Waktu saya ceritakan ini ke istri yang waktu itu masih di Indonesia, dia tidak percaya. Imannya terhadap citra awet muda sang suami menjadi teguh sejak dia menyaksikan dengan mata-kepala sendiri bagaimana kasir Wilko meminta saya menunjukkan ID saat membeli pisau dapur. Dia sendiri menikmati pujian ini berulang kali di sini. Jika ada kesempatan, silakan mencoba sendiri. Kalau tidak minum bir atau memerlukan pisau, cobalah membeli selai kacang. Salam awet muda!

Paskah

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/29/2016

Seperti Natal lalu, Paskah kali ini kami beruntung menerima undangan dari keluarga kawan untuk melewatinya bersama-sama. Sang pengundang yang budiman adalah The Lelys: Alex, Kiky, Olivia, dan Jonathan. Seperti kami, The Lelys ini pasangan interkultural. Alex dari England dan Kiky dari Nigeria. Alex ini lah yang mentraktir saya melihat pertandingan Leicester FC kapan hari.

Orang sabar, dan melas, banyak yang mentraktir, memang tongue emoticon

Keluarga Lely menyiapkan daging domba yang sangat lezat untuk kami. Allegra, Olivia, dan Jonathan sibuk dengan Easter Eggs dan Bunnies mereka. Setelah itu mereka membawa kami ke Western Park. Cuaca tiba-tiba berubah buruk dan kami harus kembali ke kediaman mereka untuk menikmati Apple Strudel dan Teh. Semuanya dibalut dengan percakapan dan candaan yang hangat.

Salah satu hari terbaik kami di sini.

Kenapa Leicester?

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/26/2016

Sebenarnya kebetulan saja saya memilih kota yang lagi kondang seantero jagat ini sebagai tujuan studi. Awalnya saya hanya ingin melanjutkan S3 dalam bidang adaptasi, terutama dari sastra ke film. Alasan sembrononya: saya semakin jarang baca novel dan semakin sering lihat film. Selain itu saya curiga masa depan prodi Sastra berada di situ. Mengikuti saran bijak mereka yang sudah S3, saya mencari pembimbing yang tepat sebelum kampus atau negaranya.

Ada dua jamhur dunia dalam bidang ini yang saya kagumi tulisan-tulisannya. Yang pertama adalah Prof. BM dan yang kedua Prof. DM. Saya menghubungi Prof. BM dulu karena beliau berkedudukan di Monash, Australia. Pikir saya enak kalau bisa sekolah di Australia karena dekat. Beliau membalas email saya dengan hangat namun menyatakan kalau sekarang sudah pensiun. Meski ‘gagal’, saya cukup senang karena beliau menghargai dan memberikan masukan untuk proposal penelitian saya. Pikir saya, paling tidak proposal saya, yang saya siapkan secara serampangan pada libur Natal 2013, tidak ngaco2 amat.

Akhirnya saya mencari kontak Prof. DM dan menemukan bahwa beliau berada di De Montfort, Leicester. Mungkin itu pertama kalinya saya sadar keberadaan kota dan kampus ini. Seperti banyak orang, waktu itu saya masih mengucapkannya sebagai lei-ces-ter (salah), bukan leis-ter (benar). Saya lihat universitas ini juga masuk dalam daftar rekomendasi DIKTI untuk beasiswa. Tak lama kemudian saya kontak beliau dan selebihnya adalah sejarah.

Waktu saya datang, Leicester City FC belum seheboh sekarang. Saya sendiri tidak suka berolahraga, apalagi melihat orang berolahraga. Terakhir saya menikmati melihat pertandingan olahraga macam English Premier League adalah saat SMA. Lulus SMA sampai tahun lalu saya terlalu sibuk memikirkan negara dan umat (halah). Tak lama kemudian tim ini tiba-tiba melambung dan saya terseret dalam eforia kota ini. Saya jadi semakin rajin mengikuti perkembangannya setelah berkesempatan menyaksikan secara langsung pertandingan Leicester vs Totenham Hotspur. Leicester kalah tapi bagi saya tidak penting karena tiketnya dibelikan kawan.

Selain klub sepakbola, kota ini lebih dulu terkenal gara2 ditemukannya kerangka Raja Richard Ketiga, tokoh antagonis dalam drama Shakespeare dan sejarah Inggris secara umum. Tapi soal ini tidak terlalu meledak di Tanah Air. Leicester juga resmi dinobatkan sebagai kota kelahiran Bahasa Inggris Modern karena di kota ini lah masyarakat Viking dan Anglo-Saxon sepakat untuk berhenti saling bacok, hidup berdampingan, dan membangun peradaban Inggris, termasuk bahasanya, seperti yang kita kenal sekarang.

Sampai sekarang kota ini masih multikultural dan mungkin yang paling multikultural di Inggris. Jumlah penduduk non kulit putih hampir mencapai 50 persen. Kebanyakan dari mereka adalah orang Hindustan dan Arab. Karenanya kami tidak kekurangan rempah-rempah di kota ini dan tidak ada masalah dengan urusan lidah. Yang belum kami temukan sampai saat ini cuma kluwek (untuk membuat rawon). Mungkin terkait dengan banyaknya imigran di sini, Leicester juga dinobatkan sebagai kota yang paling terjangkau untuk mahasiswa.

Kebebasan dan Persatuan

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/15/2016

Di UK, kebebasan jauh lebih sakral dari persatuan. Biar Skotlandia terus-menerus minta merdeka, reaksi negara, publik, dan individu tergolong biasa2 saja. Kalau ada yang menonjol, umumnya berupa bujukan dan janji supaya sang ‘pemberontak’ tetap tinggal. Reaksi mereka lebih keras ke ‘Islamisasi’, yang dianggap mengancam kebebasan. Di Indonesia, persatuan adalah segala-galanya dan kebebasan nanti dulu. Itulah kenapa NKRI harga mati. Nyawa pemberontak bisa dinego atau tidak berharga.

“It’s Personal”

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/01/2016

Salah satu kutipan paling terkenal dalam film Godfather adalah “It’s not personal, Sonny. It’s strictly business.” Kalimat ini disampaikan oleh Michael Corleone menjawab olok2 kakaknya tentang rencananya menghabisi Solozzo dan polisi pelindungnya. Tidak hanya populer, ucapan ini menjadi semacam rumus manajemen dan bisnis dan dibahas di seminar2 terkait. Salah satu penyebabnya adalah ucapan ini klop dengan logika dan pengamatan umum bahwa banyak usaha yang gagal karena pelaku tidak dapat memisahkan urusan pribadi dan bisnis.

Yang sering luput adalah apakah Michael benar-benar mempercayai ucapannya itu atau hanya sebuah sarkasme saja terhadap kakak dan cecunguknya, yang doyan mengulang2 logika umum tersebut. Jika kita mengikuti jalan cerita selanjutnya dan juga Godfather 2 dan 3, cukup jelas Michael justru menjadikan semuanya sebagai urusan pribadi mulai dari pembunuhan kepala lima keluarga mafia New York sampai Don Altobello. Ini dikukuhkan oleh ucapannya kepada Tom Hagen menjelang bertemu Solozzo yang tercantum dalam novel namun tidak terangkat dalam film:

“Tom, jangan biarkan orang menipumu. Semuanya adalah masalah pribadi, setiap bagian dari bisnis. Tiap hal terkutuk yang orang harus hadapi tiap hari dalam hidupnya adalah masalah pribadi. Mereka menyebutnya bisnis. Baiklah. Tapi semuanya sangat pribadi. Kau tahu dari mana aku mempelajarinya? Sang Don. Ayahku. Sang Godfather. Jika sebilah petir menyambar kawannya, dia akan menjadikannya masalah pribadi . . . Itulah yang menjadikannya besar. Sang Don Besar. Dia menjadikan semuanya masalah pribadinya. Seperti Tuhan.”

Lepas dari soal mafia (dan Tuhan!), ada hal yang menarik dari pandangan Vito dan Michael Corleone ini. Banyak orang yang menjadi luar biasa karena menjadikan usahanya sebagai urusan pribadi. Soal sakit hati. Soal pembuktian diri. Soal harga diri. Sebaliknya, banyak yang tidak maju-maju karena hanya berfikir soal sisi bisnis belaka. Soal untung-rugi saja. Tentu saja ini bukan berarti orang tidak perlu berhitung dalam langkahnya. Untung-rugi itu semacam prasyarat awal yang wajib dipenuhi semua pelaku. Namun yang menjadikan usaha itu melesat atau berbeda dengan yang lain adalah masalah pribadi tadi.

Oh, yes?

Mimpi Kecil2an

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/01/2016

Kata motivator, “Hati2 dengan mimpimu; dia bisa menjadi kenyataan”. Waktu kami masih kecil, salah seorang kawan saya bertanya apa cita2 saya. Meniru guyonan zaman itu, saya jawab: “Pokoknya kerja yang cuma tandatangan saja”. Tentu saja maksud saya jadi boss. Timpal kawan saya: “Maksudmu jadi tukang karcis pasar?” Zaman itu kami sering menyaksikan petugas restribusi pasar memberi paraf ala kadarnya pada lembar karcis sebelum merobek dan memberikannya ke pedagang.

Kelak di kemudian hari, dalam kebosanan menandatangani ratusan sertifikat kegiatan yang diselenggarakan program studi kami, saya terkenang-kenang percakapan itu. Meskipun tidak melulu soal itu, menjadi mandor program studi melibatkan tandatangan yang tak ada habisnya.

Zaman masih kepanasan di balik jaket, di atas Tornado/GL Max/Mega Pro, dalam perjalanan pergi-pulang kampus (@ 35 kilometer), selama 12 tahun, saya sering berkata ke diri sendiri: “Andai saja rumah dan kampus ini di Eropa. Pasti dingin dan sejuk. Pasti semangat berangkat ke kampus. Memakai sweater, membaca, dan menulis di dekat jendela ditemani kopi panas”. Demikian gambaran saya soal Eropa dari tivi dan buku.

Saat ini, hidup dalam cuaca Inggris yang selalu murung, dengan Matahari paruh-waktu, dalam temperatur dekat2 nol, saat pergi ke balkon sudah menjadi beban berat, saat sweater serasa seperti kaus kutang, saat otak hanya mampu diajak melihat FB dan Netflix, saya teringat mimpi itu.

Hati-hati dengan mimpimu. Dia bisa menjadi kenyataan, walau dengan agak lucu.

Salju Pertama

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/01/2016

Salju pertama adalah peristiwa yang menyenangkan bagi orang ‘Timur-Jauh’, anak-cucu panas terik dan hujan tropis. Bagi saya sendiri, momen itu tiba sekitar lima tahun yang lalu saat saya mendapat kesempatan berkunjung ke Porstmouth, kota pelabuhan bagian selatan Inggris. Waktu itu salju turun begitu lebat, melumpuhkan transportasi di penjuru Inggris.

Musim dingin di Leicester tahun lalu hampir berlalu tanpa salju. Cuma tempias (wozzz) yang hilang dalam satu-dua jam saja. Tahun ini kami berharap dapat menikmati Natal Putih, seperti di tivi2. Kebetulan anak-istri belum mengalami salju pertamanya. Yang datang ternyata Natal Basah. Basah sekali, hampir menyamai Natal di Surabaya.

Minggu lalu keluarga angkat kami memberitahu kemungkinan hari Kamis malam Jum’at akan turun salju. Sampai keesokan harinya Leicester tetap bersih dari air beku. Tampaknya salju tengah tirakat pada malam itu. Menghibur diri, kami berkata masih ada tahun depan.

Sekitar pukul 22.00 tadi malam, kawan saya dari Yordania mengirim pesan: “Salju turun!” Saya bangkit ke jendela dan melihatnya turun pelan dan tipis, membelah pendar lampu kota. Saya berfikir ini akan seperti tahun lalu. Cepat datang, cepat hilang. Tapi semakin malam, semakin tebal turunnya.

Dan pagi ini, dalam perjalanan ke gereja, istri dan anak saya dapat menikmati salju pertama mereka. Salju pertama kami sebagai keluarga.

Inggris dan Pencakar Langit

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/01/2016

Kapan hari saya ngobrol dengan profesor dari Brazil yang lagi penelitian di pusat penelitian kami. Kenapa di Inggris ini jarang lihat gedung pencakar langit ya, bahkan di London? Kalaupun ada ya jauh lebih sedikit jumlahnya dibanding negara2 berkembang dan mencakarnya juga tidak tinggi2 amat. Saya tambahkan shopping malls di sini nggak ada apa2nya dibanding di Indonesia. Si profesor bilang sama juga dengan Brazil.

Apa mereka tidak punya uang? Yang jelas kita-kita yang dari negara berkembang ini lebih kere dibanding mereka. Teknologi? Apalagi. Kebutuhan? Setahu saya di Inggris masih lebih banyak orangnya dibanding Uni Emirat Arab, yang suka menyodok langit itu. Lahan? London dan kota2 lain sudah sangat sesak; sudah sewajarnya lebih ‘go vertical’.

Alasan yang paling jelas adalah soal politik dan undang-undang. Pecinta bangunan kuno punya kekuatan lobi politik yang sangat besar di sini. Jangankan membongkar, menghalangi pandangan ke bangunan-bangunan kuno melanggar undang-undang. Dan penegakan undang-undangnya memang baik. Sebagai ilustrasi sederhana, saya pernah berbuih-buih merayu sopir sewaan untuk menurunkan kami di dekat apartemen, yang sebenarnya dilewati dan punya tempat perhentian. Dan rayuan saya terus-menerus ditolak “karena tidak sesuai dengan perjanjian”, dengan kesopanan yang tidak kalah konsisten.

Tapi rasa2nya ini juga masalah yang lebih ‘halus’ semacam budaya, psikologi, atau selera. Orang Inggris ini suka dan bangga dengan budaya ‘understatement’. Semakin kaya/tinggi kelas, semakin doyan merendah-rendahkan diri. Tidak harus berarti mereka itu rendah hati betulan. Tampil rendah hati adalah cara mereka untuk sombong grin emoticon Hal ini sebenarnya banyak diangkat Oscar Wilde dalam karya-karyanya. Mungkin, sekali lagi mungkin, membangun gedung tinggi2 dianggap agak berlebihan.

Mungkin ada kaitannya dengan inferiority complex juga. Sebagai bekas bangsa penakluk dan masih sangat kaya-raya, mereka tidak terlalu merasa perlu membuktikan diri atau tampil kaya. Beda dengan kita2 yang lama terjajah dan masih kere atau baru kaya. Suka bangun yang megah-megah dan tinggi-tinggi tapi kalau mau menaikkan gaji buruh … Eh.

Ada pendapat lain?

Sastra Inggris di Inggris

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/29/2016

Mungkin banyak mahasiswa dan alumni Sastra Inggris yang senyum-senyum sendiri membaca judul artikel dari The Atlantic di bawah ini. Isinya menarik dan, secara terbatas, saya saksikan dan alami sendiri di kampus saya sekarang di Inggris. Mahasiswa Asia-Afrika, yang relatif lebih terbatas kemampuan ekonominya, menguasai fakultas dan program studi yang eksakta, praktis, dan semacamnya. Sementara mahasiswa Inggris dan Eropa, yang relatif lebih makmur, menguasai humaniora, seni, desain, dan sejenisnya.

Saya sendiri, misalnya, satu-satunya mahasiswa Asia-Afrika di program studi saya, English Language and Literature, dan diduga secara meyakinkan paling kere di antara kawan2 bulenya. Setiap berkenalan dengan orang/mahasiswa dan menjawab tengah belajar di program studi tersebut, mereka selalu menyambutnya dengan kekaguman yang memabukkan. Awalnya saya pikir ini kesopanan dan sekaligus sarkasme khas Inggris. Anda tahu, orang Inggris, saking halusnya, kalau menyindir baru terasa sakitnya dua bulan kemudian.

Tapi setelah hampir satu tahun kok ya saya rasa mereka tulus kagumnya. Selain soal kekaguman melihat ada orang yang Bahasa Inggrisnya pas2an seperti saya nekat mengambil Ph.D bidang Sastra Inggris, mungkin mereka mengasosiasikan bidang saya dengan latar belakang ekonomi mapan tadi. Mungkin mereka pikir saya dan keluarga sudah melewati masalah duniawi dan sibuk memikirkan segala sesuatu yang subtil untuk mengisi hari-hari yang menjemukan. Sudah level bingung menghabiskan uang, begitu.

Di Indonesia, situasinya mungkin secara umum sebaliknya, paling tidak di kampus asal saya. Ini membuat saya berfikir apakah ini sekedar membuktikan bahwa dunia ini jamak dan tidak linear atau … orang kaya kita memang masih kurang kaya ekonomi dan/atau mentalnya untuk belajar Sastra.

http://www.theatlantic.com/business/archive/2015/07/college-major-rich-families-liberal-arts/397439/

Bertahan Ya, Bon

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 06/01/2015

Kemarin sore, menjelang istri saya tidur, kami bercakap-cakap soal anjing kami, Ebony Roberta Hatane Setiawan. Puji syukur, setelah mencari sekian lama, sudah ada orang baik yang bersedia menampungnya menjelang keberangkatan anak-istri saya ke Britania. Bagaimanapun juga, berat sekali meninggalkan teroris ini, yang telah menjadi bagian dari hidup kami sejak baru menikah dan belum punya anak.

Kami mengambil Bony dari sebuah sekolah Alkitab di Malang. Sebenarnya saya tidak terlalu setuju karena hobi saya, sebagai pria kalem, adalah tinggal dan bersih-bersih rumah. Kehadiran anjing tentu saja akan mengacaukan semesta mini saya. Selain itu, saya tahu akan tiba masa di mana kami atau dia harus meninggalkan satu sama lain. Seperti jomblo galau, saya memilih tidak mencintai daripada nanti kehilangan.

Namun demikian istri saya menjanjikan sesuatu yang sulit saya tolak. Dia bilang, kalau ada anjing, dia tidak akan sendirian kalau saya tinggal keluar ngopi dengan Pak Sali, Satpam Perumahan. Kalau sudah soal kelancaran ‘ngopi’, jangankan anjing, dinosaurus pun akan saya pelihara.

Demikianlah Bony masuk dan menjadi bagian dari rumah tangga kami. Seperti saya duga, dia menggerogoti mebel, tembok, paving, dan segala yang saya cintai. Urusan paving di belakang rumah sudah seperti pertempuran besar antara naluri melawan kehendak. Hari ini dia bongkar, malam ini saya pasang kembali. Begitu terus setiap hari, sepanjang tahun. Kadang-kadang tanpa alasan yang jelas, dia buang air di tempat keramat seperti sofa dan kasur. Pengakuan: saya sering marah dan menghukumnya secara militer. Belakangan saya menemukan di sebuah jurnal ilmiah anjing (ini serius), menghukum anjing dan mengharapkan perubahan perilaku adalah mitos.

Tapi diam2 saya mulai dekat dengannya. Seperti di film dan foto motivasi, Bony selalu menemani saya bekerja sampai dini hari. Kalau saya jenuh dengan pekerjaan, saya ajak dia main lempar bola, permainan kegemarannya. Beberapa kali dia kabur dari rumah. Istri dan saya harus mengejarnya karena dia tidak terbiasa di luar rumah dan kami khawatir dia tertabrak mobil atau motor. Semakin dikejar, semakin kencang larinya. Kalau sudah begitu, saya jadi marah dan sesumbar saya tidak sudi mengubernya. Gertakan saya ini tentu saja cuma bertahan beberapa detik saja.

Terus terang saja, Bony bukan anjing yang cemerlang. Mungkin di dunia anjing IQ-nya paling banter masuk kategori rata-rata dan TOEFL-nya tidak akan mencapai syarat untuk S2. Kami menolak operasi plastik, oleh karena itu Bonny tidak cantik2 amat. Namun demikian ini yang justru membuat dia begitu ‘lovable’. Seolah-olah kami ingin melindunginya dari kejamnya dunia. Halah. Biar pun demikian, Bony adalah pembawa rezeki ulung. Anjing cantik dan pintar masih kalah dengan anjing bejo, ini hukum kehidupan. Sampai sekarang saya agak percaya bahwa dia adalah semacam ‘pancingan’ untuk keberadaan putri kami Allegra. Mungkin juga pancingan untuk beasiswa saya.

Saat saya berpamitan ke Bony liburan Natal kemarin, istri saya menangis. Dia bilang mungkin ini pertemuan terakhir saya dengan dia. Waktu itu kami berfikir, jika tidak ada keluarga yang merawatnya, pilihan terakhir adalah mengembalikannya ke sekolah Alkitab tersebut. Terus terang kami tidak yakin, setelah menikmati hidup rumahan, dia mampu bertahan di lingkungan bebas itu dengan begitu banyak anjing lainnya.

Dengan adanya keluarga yang bersedia merawatnya, saya bersyukur dan berharap Bony dapat melewati ujian hidup ini. Bertahan ya, Bon. Apa yang dipersatukan oleh sekolah Alkitab, tidak dapat diceraikan oleh sekolah biasa.

Resmi

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 05/10/2015

Res

Puji syukur saya resmi melewati masa percobaan enam bulan yang menjadi syarat program Ph.D di Inggris. Bersyukur juga saya tidak perlu melakukan revisi untuk bakal proposal saya.

Anak = Agama Baru

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 04/16/2015

Punya anak itu seperti memeluk agama baru. Fanatik dan tak bisa berhenti membicarakannya dengan orang lain. Jadi harap maklum ya

Eulogi untuk Kawan Jauh

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 04/07/2015

Terus terang saya tidak berkawan dekat dengan Pak Budi Prasetyadi. Saya sudah memperhatikan beliau jauh sebelum saya dekat dengan kawan2 DKV. Saya sering melihat beliau di mulut gang Siwalankerto menunggu bemo atau menyantap bakso di El Munar. Penampilan beliau mewakili bayangan masyarakat Indonesia soal seniman, dan karenanya mudah menarik perhatian di kampus saya yang oh-sungguh-demikian mainstream. Ketika, karena kecelakaan sejarah, saya menjadi dekat dengan penduduk DKV, kami akhirnya resmi berkenalan.

Beliau tergolong pendiam, paling tidak dibanding saya yang merasa linu-linu kalau tidak bicara. Oleh sebab itu pengetahuan saya tentang beliau juga terbatas. Kebanyakan yang saya tahu soal beliau bersumber dari Mas Piyok, yang, seperti saya, doyan nggombes. Mas Piyok sendiri mengagumi semangat dan keterampilan beliau, dan juga sebaliknya. Pak Budi juga sering pergi ke warung Imron menjelang maghrib bersama Bapak Dosen Sepuh yang saya lupa namanya. Dalam perngobrolan segitiga ini pun, Pak Sepuh dan saya yang lebih banyak ngumbar swara. Pak Budi adalah pendengar yang baik, beda dengan saya.

Hal lain yang saya tahu adalah beliau sering mondar-mandir menggotong cat bersama Pak Obed, Mas Piyok, Pak Anang, dan insan lainnya yang, entah kenapa, percaya bahwa mengoret-oret tembok kota adalah semacam tugas nasional atau bahkan jihad. Atas jasa baik Pak Bing, jihad ini berlanjut ke rumah saya menjelang kelahiran putri saya Allegra satu tahun yang lalu. Pak Budi dan para jihadis tembok ini memberikan kado mural manis untuk putri saya. Ada satu kejadian yang istri dan saya tidak pernah lupa: beliau bisa memanjat selihai ular. Selain peristiwa mural itu, beliau beberapa kali lagi ke rumah saya bersama kawan2 DKV. Saya sendiri belum pernah satu kali pun ke rumah beliau. Pak Budi adalah kawan yang setia, beda dengan saya.

Ingatan saya yang terakhir tentang beliau adalah melihat beliau menunggu bemo saat liburan mahasiswa. Saya berhenti dan mengangkut beliau ke kampus. Menghilangkan kekikukan, saya bertanya kok beliau masih ke kampus padahal mahasiswa masih libur. Saya tahu Pak Budi adalah dosen LB yang tidak berkewajiban ke kampus saat libur mahasiswa. Beliau bilang mau melihat dan membantu mahasiswa mengerjakan mural. Duh, Gusti, paring pangapura … Pergi ke kampus di hari libur, dengan angkutan umum, belum opernya, susah dikunyah oleh logika SKS dan slip gaji saya. Beda dengan saya, soal pekerjaan, Pak Budi sudah manunggal; lepas dari lingkaran kewajiban dan hak; sudah makrifat.

Menjelang saya berangkat studi lanjut, saya mendapat kabar dari kawan-kawan bahwa beliau opname, mengalami gagal ginjal, dan harus rutin cuci darah. Konon beliau terlalu lama mengkonsumsi obat antibiotik untuk menyembuhkan tangannya yang cedera parah karena kecelakaan. Sebagai kawan yang buruk, saya tidak sempat membezook dan hanya melihat foto2nya. Setelah itu saya pergi studi dan lupa.

Satu minggu yang lalu saya melihat foto beliau dengan kawan2 di lini masa. Saya bertanya bagaimana keadaan beliau. Saya tidak menerima jawaban sampai dua hari kemudian Pak Obed mengumumkan beliau sudah tutup usia.

Hari ini saya ingin ganti membalas mencoret tembok Facebook beliau. Tidak bisa, karena ternyata saya belum pernah melamar menjadi kawannya. Pepatah Inggris mengatakan, “birds of the same feather flock together”. Burung dengan bulu yang sama berkumpul. Masih banyak yang perlu saya kerjakan supaya mempunyai bulu yang sama dan layak menjadi kawan dekat beliau. Orang yang baik.

Terima kasih, Pak Budi, sudah menjadi contoh yang jauh.

Hasil Bab Pendahuluan

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/28/2015

Sc

Kabar Baik Bulan Ini

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/21/2015

Semoga berkat ini berlanjut sehingga saya dapat menikmati libur Paskah dengan ngiler2 di bantal setiap hari dan nonton ulang The Sopranos.

Sudah Kumpul Registration Form dan Ethical Review

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/02/2015

Prog

TJ’s Burger

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/18/2015

Paling tidak satu hari dalam seminggu saya berhenti makan makanan kalengan dan memperbaiki diet saya dengan mengganyang burger di TJ’s. Bagi beberapa orang, ini adalah perpindahan dari sampah ke sampah yang lebih baik. Bagi saya, tidak ada makanan sampah, apalagi kalau harganya 100 ribuan. Nggolek duwek angel, cak! grin emoticon Apalagi rasanya…burger ini terenak di dunia. Selamat makan.

Sampai Sang Tiran Menyerah

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/18/2015

Sebagai demonstran goblok dan lebih banyak ikut2an, saya ingat dulu senior2 saya yang pintar dan karismatik sering berteriak lantang di depan gedung2 pemerintahan: “satu bumi merah/jangan patah/sampai sang tiran menyerah!” Saya tidak tahu siapa yang menciptakan slogan ini. Pasti orang pintar juga. Tapi saya sangat senang mendengarnya. Ada yang puitik dalam slogan ini, ada yang bergelora juga. Apalagi masa2 itu sering hujan. Pas sekali di hati.

Saya tidak pernah lupa slogan ini dan semacam mengimaninya sampai sekarang. Usaha menciptakan hidup yang lebih baik di republik ini tidak berakhir dengan memilih Orang Solo dan tidak memilih Sang Jenderal. Tirani pencolengan belum menyerah dan tampaknya masih lama juga. Mungkin kita kalah modal dan jaringan. Yang penting jangan sampai kalah nafas. Terus bangkit dan memukul lagi, kawan2.

Satu bumi merah/jangan patah/sampai sang tiran menyerah!

Hasil Semester Satu 2014-2014

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Progress Report Dwi Setiawan_Page_2

Pub, Perpustakaan, dan Mahasiswa Asia

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Pergi ke perpustakaan adalah hal yang sangat jarang sekali saya lakukan saat di Indonesia. Saya baru ke Perpustakaan di Kampus jika ada undangan yang tak dapat saya hindari atau mengantar tamu yang ingin melihat-lihat. Hampir semua adalah karena tuntutan pekerjaan saya sebagai ketua jurusan saat itu, bukan karena kebutuhan sebagai akademisi apalagi minat pribadi. Untuk menulis artikel atau mempersiapkan bahan kuliah, saya lebih mengandalkan bahan-bahan yang tersedia di internet, terutama ebooks dalam bentuk PDF. Terus terang saja, warung kopi dan makhluk-makhluk yang bersemayam di sana jauh lebih menarik bagi saya.

Di Leicester, hampir tiap tengah malam sampai subuh saya bergentayangan di Perpustakaan Kampus. Salah satunya memang karena tugas penelitian. Tapi sebenarnya tidak juga. Saya masih tetap mengandalkan e-books dan e-journals untuk penelitian saya. Alasan sesungguhnya adalah pengalihan atau variasi. Hampir sebagian besar waktu saya habiskan di dalam Flat saya. Di musim dingin seperti ini, kemampuan saya untuk bertahan di udara terbuka cuma sekitar 15 menit. Saya sangat memerlukan alternatif ruangan tertutup lainnya tiap harinya untuk menjaga saya tetap waras dan riang-gembira.

Sebagai manusia yang menghabiskan pagi dan siang menghisap ujung selimut, dan beroperasi dengan lebih efektif saat matahari terbenam, mencari alternatif ruangan tertutup untuk malam sampai dini hari menjadi tantangan tersendiri. Di Leicester, dan mungkin kota-kota kecil-menengah lain di UK, segala sesuatu tutup setelah pukul 5-6 sore. Yang masih buka tinggal 1) pub/bar/disko dan 2) perpustakaan. Pub buka sampai kurang-lebih pukul satu malam. Perpustakaan buka 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu.

Sebenarnya bukan soal moral, dosa, hati nurani, dan sejenisnya yang menghalangi saya pergi ke pub. Saya sih asyik2 saja. Tantangan sesungguhnya adalah finansial dan budaya. Harga satu gelas bir di pub sekitar 3 pounds. Kebetulan saya ini dikaruniai konsentrasi tinggi, termasuk dalam hal minum2. Kalau sudah minum, saya sangat fokus dan susah berhenti. Bisa dibayangkan jika saya tiap hari ke pub. Mungkin saya akan pulang ke tanah air dengan ucapan terima kasih dari Jack Daniels, bukan sertifikat kelulusan dari kampus. Selain itu, saya perlu menabung sedikit-sedikit juga untuk persiapan kedatangan anak-istri di bulan Mei nanti.

Secara budaya, saya sampai sekarang, dan mungkin sampai lulus, masih merasa ‘asing’, ‘minor, ‘liyan’, dan sejenisnya. Rikuh juga harus mengawali dan bersosialisasi dengan orang2 lokal yang mendominasi pub. Kebetulan juga sahabat saya di sini adalah orang Arab yang menganut prinsip kejawen: cegah bir kalawan whiskey. Terkutuklah saya jika mengajaknya ke pub atau tempat2 yang tidak diridhoi.

Jadi, pada akhirnya Perpustakaan menjadi alternatif yang murah dan ramah. Sebagai gambaran, harga cappuccino di Perpustakaan cuma 1 pound sementara di luar perpustakaan 2-3 pounds. Kadang-kadang saya membuat kopi sendiri di Flat dan membawanya dalam tumbler ke Perpustakaan. Di Perpustakaan orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Jadi saya tidak perlu menghadapi keanehan dan kekikukan sosial seperti di pub atau bar.

Setelah saya amati beberapa bulan, saya ternyata tidak sendirian. Perpustakaan Kampus didominasi oleh orang-orang Asia pada malam dan dini hari. Dominasi ini semakin kentara saat akhir pekan. Perpustakaan bisa menjadi semacam tempat ‘All-Asian Final’. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa beasiswa seperti saya, yang kecerdasan finansialnya tiba-tiba melambung di negeri orang. Sementara mahasiswa-mahasiswa lokal mabuk, melompat2, bersorak-sorai di flat kawan atau bar, mahasiswa-mahasiswa Asia suntuk di depan buku/komputer di Perpustakaan.

Dalam hati, saya pernah berujar dengan bangga, “Tidak salah lagi, abad ini adalah milik Asia!” Akhir pekan lalu, saya jadi berpikir ulang, “Jangan2 kita kurang bersenang-senang.” Kali ini, saya berfikir, “Mungkin kita bersenang-senang dengan cara yang berbeda”.

Makanan Timur Tengah

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Gara2 bersahabat dengan mahasiswa Yordania, saya jadi lumayan sering diperkenalkan dan menikmati kulinari dari jazirah Timur Tengah. Satu hal yang saya perhatikan adalah porsi makanan Timur Tengah rata2 besar, bahkan untuk orang yang daya tampung dan nafsu makannya superior seperti saya. Ambil contoh Chicken Sawarma yang saya pesan dan makan sore ini. Bahkan kamera saya tidak mampu menampungnya secara utuh tanpa berdiri menjauh.

Saat Keturunan Petani Merantau

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Susah disangkal, nenek moyang saya adalah petani, bukan pelaut. Tak seperti para pelaut yang gandrung berpetualang, saya tidak terlalu menikmati bepergian, apalagi meninggalkan keluarga. Lebih-lebih untuk waktu yang cukup lama. Kalaupun saya keluar rumah, biasanya untuk pergi ke tempat2 yang secara reguler saya kunjungi seperti kantor dan warung kopi. Bukan untuk mengeksplorasi tempat2 baru dan bertemu orang2 baru seperti ajaran2 psikologi populer dewasa ini. Dalam konstelasi psikologi populer, dengan mudah saya akan terjerembab dalam golongan orang2 yang membosankan.

Mungkin karena ingin menjadi pribadi yang lebih menarik, saya beberapa kali berusaha melawan tendensi alami ini. Dengan sengaja saya mencoba untuk meninggalkan sarang, bepergian jauh, untuk waktu yang lumayan. Di sini saya menemukan bahwa, seperti Dante Alighieri, Gusti kang Akarya Jagat ini maha humoris. Saya yang sebenarnya kurang suka bepergian jauh dan lama ini justru beberapa kali mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Mungkin lebih sering dari orang2 yang secara alami suka bepergian. Apakah saya sudah menjadi pribadi yang menarik, ini masih merupakan bagian dari Rahasia Ilahi.

Tentu saja ini saya lakukan dengan segala keruwetan perasaan. Pada pengalaman pertama dulu, saya menangis Bombay di bandara, disaksikan keluarga dan kawan2 baik. Waktu itu saya masih belia, ekspresif, dan romantik. Singkatnya, masih lebay lah. Pada pengalaman terakhir tiga bulan yang lalu, saya sudah tidak terjerumus dalam sedu-sedan. Namun saya terserang panik beberapa kali di kamar mandi menjelang keberangkatan. Keberangkatan selalu merupakan bagian tersulit. Di satu sisi, saya tahu saya perlu atau wajib berangkat. Di lain sisi, saya sadar bahwa saya sebenarnya masih dapat membatalkan keberangkatan itu dengan segala risikonya.

Dari beberapa pengalaman, saya belajar cara yang termudah untuk melewati keberangkatan bagi keturunan petani yang kebetulan lebay seperti saya ini adalah sebagai berikut. Pertama, usahakan jangan berpisah dengan keluarga dan kawan2 tercinta di bandara. Entah karena terlalu sering nonton film, suasananya menjadi lebih dramatis jika berpisah di sana. Kalau harus, semakin sedikit yang turut ke bandara, semakin baik. Kedua, usahakan berpamitan dengan cepat. Jika harus berpisah di bandara, usahakan jangan datang terlalu awal supaya dapat cepat2 berpamitan. Semakin lama, semakin luluh-lantak hati ini (halah). Ketiga, usahakan lebih sering berada di ruang terbuka. Jangan terlalu lama berada di ruang sempit seperti kamar mandi, toilet, dan sejenisnya. Selain ruang sempit membikin perasaan jadi ikut sesak, terlalu lama di toilet mengganggu pengguna yang lebih membutuhkan.

Saat sudah berangkat dan tiba di tempat tujuan, biasanya perasaan saya menjadi jauh lebih baik. Paling tidak saya sudah tidak punya pilihan lagi selain melanjutkan hidup di tempat yang baru. Itu kalau lagi kere. Kalau sedang ada rezeki, saya mulai berfikir untuk pulang untuk berlibur. Secara umum, menanti kepulangan sangat menyenangkan. Begitu juga saat betul2 sudah pulang. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi keturunan petani seperti saya ini selain bertemu keluarga dan ngopi bersama kawan2 lama. Yang susah adalah menjelang berangkat lagi karena saya harus mengulangi lagi proses yang susah tadi. Seperti halnya berangkat, pulang berlibur adalah buah simalakama bagi yang nenek moyangnya petani.

Kurang tiga hari lagi saya harus meninggalkan kembali keluarga dan kawan2. Kali ini akan lebih lama sebelum kepulangan saya selanjutnya, yang saya belum tahu kapan. Sampai jumpa lagi. Semoga keturunan petani yang mencoba merantau tak bisa dikalahkan.

Terbang dan Keluarga

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Untuk ukuran masyarakat Petra yang konon elit itu, saya bisa dikatakan sedikit terlambat naik pesawat. Pengalaman pertama saya naik pesawat adalah pada usia 22 tahun dengan tujuan ke Bangkok untuk studi lanjut. Jadi, sekali naik pesawat langsung keluar tanah air serta transit dan mendarat di negara lain.

Tak ada ketakutan sama sekali hari itu. Yang ada adalah kegembiraan dan rasa ingin tahu. Hampir2 menyamai perasaan saya saat mendapatkan motor pertama waktu kelas dua SMA. Saya begitu menikmati tahap awal take off, yang saya bayangkan seperti perlombaan drag race. Begitu juga saat persiapan dan momen landing. Saya mengamati dengan detil gerakan2 penampang di sayap. Dan puncaknya adalah gemuruh saat pesawat melakukan pengereman. Hari itu…

Kegembiraan yang sama masih saya nikmati untuk beberapa penerbangan selanjutnya. Sampai suatu titik saya merasa sudah biasa dan tak ada lagi yang saya tunggu. Ini adalah tahap mati rasa. Pesawat adalah pesawat. Penerbangan adalah penerbangan. Saya tetap memilihnya karena cepat dan aman. Seperti manusia modern memilih sesuatu. Miskin perasaan yang ruwet2.

Aman? Ya, bahkan dengan kejadian memilukan akhir2 ini, transportasi udara secara statistik masih secara absolut menduduki posisi transportasi teraman di dunia. Silakan dicari sendiri di google dan situs2 terpercaya.

Itulah kenapa dulu saya sering bingung lihat orang2 di sekitar saya merem2 dan merapal doa saat take off dan landing. Itulah kenapa saya pernah menertawakan Pak Satya Limanta yang mengajak saya naik kereta api saja waktu mau menghadiri ujian terbuka Pak Ribut Basuki di Jakarta.

Itu dulu. Kegembiraan dibunuh kebiasaan dan statistik. Kini kebiasaan dan statistik dibunuh wajah anak dan istri. Hari2 ini saya dengan kerelaan hati ikut dan bahkan mengawali merem2 dan merapal segala japa-mantra-doa yang saya tahu menjelang take off dan landing. Bahkan di antara dua prosesi besar ini saya bisa mengadakan sekian persekutuan2 kecil, terutama saat pesawat bergeronjalan menerjang awan atau tiba2 turun atau miring. Wajah anak dan istri terus-menerus me-mukul2 mata saya.

Simpati saya yang terdalam untuk seluruh penumpang dan keluarganya. Saya bahkan tidak mampu membayangkan perasaan Anda. Semoga, entah karena semacam mujizat atau kebetulan, Anda dapat dipertemukan kembali. Saya hanya bisa merem2 dan berdoa. Kali ini dari rumah. Kali ini untuk Anda.

Tahun 2014

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Kalau boleh dirangkum dan agak disederhanakan, tahun 2014 benar2 tahun yang sangat baik dalam hidup saya. Pertama, saya punya anak. Sampai sekarang saya masih merasa janggal bahwa saya yang masih suka mewek ini sudah punya anak. Kedua, saya jadi meneruskan sekolah yang sudah saya harap2kan sejak masih sekolah S2 dulu. Yach, meskipun ini berarti meninggalkan anak, istri, dan keluarga. Ketiga, hidup saya jadi lebih seru dengan mengenal kawan2 baru, terutama masyarakat FSD/DKV. Kalau kawan2 lama adalah empat sehat, kawan2 baru ini adalah susu. Eh. Semoga tahun 2015 tidak kalah serunya.

Yang Namanya Talenta

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Salah satu talenta Allegra yang mulai tampak adalah keahliannya dalam makan dan minum. Kalau anak lain harus dibujuk, Allegra dapat dengan mudah meraih predikat aktif-berprestasi dan sekaligus cumlaude dalam hal mengunyah dan menelan. Entah bakat ini menurun dari siapa. Saking sukanya makan dan minum, anak ini bisa sangat menikmati saat minum obat dan bahkan menangis minta tambah lagi saat obatnya sudah tandas. Papa bangga sama kamu!

Turun Tanah

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Hari ini di rumah orang tua saya kami mengadakan upacara dan syukuran kecil2an untuk menandai berakhirnya masa petualangan Allegra di dunia kasur yang nyaman dan dimulainya periode menginjak bumi yang penuh tantangan. Waktu dihadapkan dengan pilihan seperti ponsel, alkitab, make up, bunga, buku, dll, Allegra mantap mengambil buku. Konon menurut mitos Jawa, ini menunjukkan di kemudian hari sang anak akan mencintai ilmu pengetahuan dan suka belajar. Mungkin jadi dosen juga. Amin smile emoticon

Sebelum Libur

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Puji syukur mendapat umpan balik positif lagi dari Kanjeng Nyai Profesor di akhir tahun ini. Jalan masih sangat panjang dan semakin sulit tapi semoga kegembiraan2 sederhana seperti ini mampu menyangga kesulitan dan kebosanan. Bersyukur juga untuk keberadaan keluarga dan kawan2 yang selalu memberi semangat dengan caranya masing2. Next stop: formal registration to Ph.D by March 2015.

Perkembangan Allegra

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Waktu saya tinggal dulu, Allegra masih miskin gaya. Sudah bisa telungkup, tapi belum bisa kembali telentang sendiri. Betapa cepatnya pertumbuhan seorang malaikat! Ketika saya kembali untuk berlibur, Allegra sudah berubah dari anjing laut yang lucu menjadi pemain sirkus yang tangkas.

Masa2 paling melelahkan tapi sekaligus paling seru adalah menjelang dia tidur. Telungkup, telentang, berputar, maju-mundur, serong kanan-kiri, memanjat, dan seterusnya. Allegra tak pernah membiarkan kami tertidur saat dia masih atau sudah terjaga. Dia akan membangunkan kami dengan menghalalkan segala cara, mulai memanjat sampai mengobok2 muka. Demikian juga Allegra tak pernah membiarkan papa dan mamanya menekuni tab atau ponsel masing2 menjelang tidur. Anak ini, meminjam istilah anak sekarang, luar biasa ‘kepo’. Melihat sekelebat cahaya ponsel, dia akan langsung bangkit, memburu, merebut, dan memainkannya sendiri. Dengan semena-mena.

Saat lelah dan tertidurpun, Allegra jauh dari modus ortodoks. Gambar di bawah adalah salah satu nomor andalannya: ‘Sang Bulan Sabit’.

Allegra, seperti namanya, adalah tempo yang dinamis. Tetap sehat ya, Nak.

Laki-laki Penuh Rezeki

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Hari ini saya keluar bersama seorang kawan baik dari Timur Tengah. Singkat kata saya mendapat rezeki berupa capucino pagi, makan siang falael, dan sorenya teh rasa mint yang nikmat sekali dan seumur2 baru kali ini saya nikmati. Mungkin karena keenakan, saya jadi susah tidur lagi malam ini. Daripada sumpek di kamar saya mondar-mandir di depan apartemen dan tiba2 ada orang keluar dari mobil dan menghampiri saya. Saya langsung waspada dan hampir saja mengambil kuda-kuda Jurus Dewa Nyimeng. Dia bertanya apakah saya yang memesan pizza. Saya bilang tidak. Lalu dia bertanya apakah alamat yang dia sebutkan sudah benar. Saya jawab sudah sangat tepat. Mungkin karena saya ini grapyak, tidak lama kemudian kami sudah mengobrol karena yang memesan tidak muncul2. Sahib ini berasal dari Afghanistan dan sudah cukup lama di Leicester. Tak lama kemudian dia mendapat telpon dari kantornya. Dia berpamitan ke saya sambil mengatakan kalau pesanannya ternyata dibatalkan. Dia meninggalkan saya dengan dua kotak besar pizza karena, katanya, tidak boleh disimpan untuk dijual lagi atau dikirim ke pelanggan lain. Duh, Gusti, betapa tak terbatas rezekimu. *langsung ngeloyor balik ke kamar*

Ke Oxford

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Terus terang saya tidak pernah bermimpi kuliah di Oxford Uni. Tapi saya pernah bermimpi sebelum tutup usia (eh) untuk mengunjungi salah satu universitas tertua dan terbaik di dunia ini (selain menghabiskan masa pensiun di Prague dan naik kereta api Trans Siberia. Halah). Akhir pekan lalu, di tengah2 perseteruan dengan tenggat waktu tugas penelitian, saya mencopet waktu dan meluncur ke sana, yang ternyata berjarak dua jam dari Leicester. Oxford adalah kota kecil yang mudah dijelajahi dengan berjalan kaki. Kota ini tentu saja dihidupi oleh Oxford Uni dan kawan bertandingnya Cambridge Uni, yang mahasiswa Oxford sebut sebagai “the other place”. Kata kawan perjalanan saya dari Taiwan, orang2 di kota ini entah bagaimana terlihat lebih tertib dan pintar dibanding orang2 di Leicester. Saya hanya dapat meringis sedih … dan sedikit berdoa semoga kepandaian menular seperti Ebola. Amin!

Ulang Tahun Kesekian

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Terima kasih untuk seluruh perhatian dan kebaikan Bapak/Ibu/Saudara/Kawan/Mahasiswa di hari yang fitri ini smile emoticon Setiap ucapan Anda sangat berarti buat saya, dan entah kenapa mengingatkan saya pada pagi beku ini pada sebuah sajak Wordswoth (1804) yang berjudul “I wandered lonely as a cloud”.

Saya merasa seperti awan kecil yang mengembara di lanskap sepi yang menemukan ketenangan dan kegembiraan saat melihat Anda semua, sang bunga dafodil, di bumi dari mana saya berasal dan akan rebah smile emoticon

La luta continua. The struggle continues!

———————————————————————————————————–
I wandered lonely as a cloud
That floats on high o’er vales and hills,
When all at once I saw a crowd,
A host, of golden daffodils;
Beside the lake, beneath the trees,
Fluttering and dancing in the breeze.

Continuous as the stars that shine
And twinkle on the milky way,
They stretched in never-ending line
Along the margin of a bay:
Ten thousand saw I at a glance,
Tossing their heads in sprightly dance.

The waves beside them danced; but they
Out-did the sparkling waves in glee:
A poet could not but be gay,
In such a jocund company:
I gazed—and gazed—but little thought
What wealth the show to me had brought:

For oft, when on my couch I lie
In vacant or in pensive mood,
They flash upon that inward eye
Which is the bliss of solitude;
And then my heart with pleasure fills,
And dances with the daffodils.

Rekayasa Jam Tidur

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Saya tengah melakukan proyek pribadi berupa rekayasa jam tidur. Dari dahulu kala saya merasa lebih nyaman bekerja di malam hari. Itu lah kenapa saya ngampus siang 😛 Di sini saya bekerja mulai sekitar pukul 10 malam dan baru bisa tidur antara pukul 8-9 pagi. Biasanya saya bangun pukul 4-5 sore. Masalah terjadi kalau saya harus menghadiri kelas pada pukul 12 di hari Rabu dan Kamis. Rasanya seperti zombie, hidup badan tapi mati pikiran. Selain itu saya jadi susah jalan2 karena, berbeda dengan di Indonesia, hampir semua tempat tutup setelah pukul 5 sore. Mulai kemarin saya mencoba menggeser jam tidur ke jam 3 sore sampai 10 malam. Dengan demikian saya bisa masuk kelas secara manusiawi atau jalan2 melihat dunia, dan tetap bekerja di malam hari. Semoga keinginan mulia ini dapat terkabul 😛

Untuk Allegra, Anakku, di Rumah Tupai

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/04/2015

Hasil sementara “cegah dhahar lawan guling, lawan aja asukan-sukan, anganggo sawatawis” … berpuasa makan dan tidur, tidak berpesta-pora, dan memakai seperlunya (Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Serat Wulangreh, Pupuh II Kinanthi). Yang pasti Bapak tetap ngopi dan kadang-kadang minum apa yang disebut om-ommu sebagai “Air Belanda”. Di sini sangat dingin, Nak. Kopi saja kurang memadai. Eh.

Berfikir melakukan ini semua untukmu membuat yang tak tertanggung sedikit tertahan. Perjalanan masih sangat jauh. Tapi biarlah Bapakmu sebentar bergembira.

Untuk langkah selanjutnya, Kanjeng Nyai Profesor bertitah supaya Bapakmu menyelidiki kemungkinan menghubungkan Bapak Ahmad Tohari yang asli Banyumas itu dengan Tuan William Faulkner dari Mississipi. Entah bagaimana. Bapak sempat curiga mungkin mereka berdua mempunyai horoskop yang sama. Tapi google menyatakan berbeda. Mungkin Bapak perlu menelisik shio mereka.

Bapak pamit lagi. Sampai bertemu segera. Baik-baik dengan Mamamu.

Pahlawan Bertopeng

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 01/05/2013

The Pioneer

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 03/08/2012

Join the pioneer of professional English in Indonesia: English for Creative Industry, English for Business Communication, and English Education Business.

http://inggris.petra.ac.id

Surealisme

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 02/03/2012

Surealisme adalah…mendengarkan Beethoven sambil makan rengginang.

Kurawa yang Demokratis

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 01/29/2012

Akhir pekan ini saya mendapatkan kesempatan untuk meneruskan menonton serial Mahabharata yang pernah saya gandrungi waktu zaman TPI dulu. Saya beruntung dapat mendapatkannya dari dari mahasiswa yang bekerja di Puskom. Sebenarnya saya berniat menyelesaikannya waktu libur Natal kemarin tapi tidak berhasil karena jumlah serinya yang hampir mencapai seratus.

Kesan kuat yang saya dapatkan sampai saat ini adalah Kurawa itu lebih demokratis dari Pandawa dalam beberapa segi. Kurawa tidak mempermasalahkan latar belakang Karna sebagai anak kusir. Kurawa juga pro penyandang cacat seperti dalam kasus Sangkuni. Sekutu Kurawa rata-rata memang orang/makhluk pinggiran. Kalau tidak buruk rupa ya dianggap urakan. Sebaliknya Pandawa selalu mendapatkan bantuan yang seringkali curang dari para dewa-dewi nan suci. Mungkin jumlah Kurawa yang banyak semakin memperkuat kesan demokratis ini. Bandingkan dengan Pandawa yang cuma lima dan terkesan elitis 🙂 .

Colin Powell’s Principles of Leadership

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 10/05/2011
  1. Being responsible sometimes means pissing people off.
  2. The day soldiers stop bringing you their problems is the day you stopped leading them. They have either lost confidence that you can help them or concluded that you do not care. Either case is a failure of leadership.
  3. Don’t be buffaloed by experts and elites. Experts often possess more data than judgment. Elites can become so inbred that they produce hemophiliacs who bleed to death as soon as they are nicked by the real world.
  4. Don’t be afraid to challenge the pros, even in their own backyard.
  5. Never neglect details. When everyone’s mind is dulled or distracted the leader must be doubly vigilant.
  6. You don’t know what you can get away with until you try.
  7. Keep looking below surface appearances. Don’t shrink from doing so (just) because you might not like what you find.
  8. Organization doesn’t really accomplish anything. Plans don’t accomplish anything, either. Theories of management don’t much matter. Endeavors succeed or fall because of the people involved. Only by attracting the best people will you accomplish great deeds.
  9. Organization charts and fancy titles count for next to nothing.
  10. Never let your ego get so close to your position that when your position goes, your ego goes with it.
  11. Fit no stereotypes. Don’t chase the latest management fads. The situation dictates which approach best accomplishes the team’s mission.
  12. Perpetual optimism is a force multiplier.
  13. Powell’s Rules for Picking People: Look for intelligence and judgment, and most critically, a capacity to anticipate, to see around corners. Also look for loyalty, integrity, a high energy drive, a balanced ego, and the drive to get things done.
  14. Great leaders are almost always great simplifiers, who can cut through argument, debate and doubt, to offer a solution everybody can understand.
  15. Part I: Use the formula P=40 to 70, in which P stands for the probability of success and the numbers indicate the percentage of information acquired. Part II: “Once the information is in the 40 to 70 range, go with your gut.
  16. The commander in the field is always right and the rear echelon is wrong, unless proved otherwise.
  17. Have fun in your command. Don’t always run at a breakneck pace. Take leave when you’ve earned it: Spend time with your families. Corollary: surround yourself with people who take their work seriously, but not themselves, those who work hard and play hard.
  18. Command is lonely.

Air

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 10/03/2011

lentur mengambil jalan namun pantang mengubah tujuan.

payback

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 07/24/2011

above all, i am grateful for my family, my girl, my friends, and my job. it’s just perfect 🙂

my legacy

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 07/03/2011

my future sons and daughters, to leave a legacy means to leave the places you go and the people you meet a little better than you found them.

orang baik & sistem jahat

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 06/22/2011

semua orang yang merasa baik wajib memenuhi dan merebut sistem yang dianggap jahat. menjauhi sistem yang dianggap jahat justru memastikan bahwa sistem itu hanya akan diisi oleh orang yang jahat dan, karenanya, menjadikannya semakin jahat. orang- orang yang merasa baik yang hanya berteriak-teriak di luar sistem yang dianggap jahat adalah orang-orang yang munafik dan pengecut.

akhir pekan dengan kompromi

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 06/10/2011

kalau sudah akhir pekan begini, tak ada yang lebih menyenangkan bagi saya selain membaca buku, melihat film, dan kadang-kadang mendengar musik. akhir pekan bagi saya adalah waktu untuk mengisi tidak saja baterei tapi juga content dalam diri saya. bagi saya mengisi tidak harus lebih rendah daripada memproduksi. memang mengisi saja tanpa memproduksi hanya akan menjadikan kita manusia cerdas dan sensitif tapi mandul. tapi, tanpa isi yang baru, saya hanya akan memproduksi hal yang itu-itu saja sepanjang minggu.

itu lah kenapa saya begitu menghargai kegiatan membaca, menonton, dan mendengar saya di akhir pekan. kadang-kadang saya bisa dengan tegas menolak ajakan atau undangan untuk melakukan hal lain, termasuk dari mereka yang mencintai saya. pada saat yang sama, saya juga berusaha untuk tidak mengganggu akhir pekan seseorang. 

namun demikian akhir-akhir ini saya berfikir untuk lebih kompromistis. sebabnya sederhana. pasangan saya tersedu-sedu karena saya menolak ajakannya untuk berpergian keluar kota. saya berfikir bisa jadi penolakan saya selama ini melukai lebih banyak orang. pada akhirnya, manusia tidak hanya hidup dari keadilan. banyak dimensi-dimensi lain dalam kehidupan ini.

you, little things.

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 06/04/2011

as they say, take gossips as part of your myth. feed the gossippers with constant happy news and let them burn by them.

Memilih Bidang

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 05/23/2011

Memilih bidang yang ingin kita tekuni sesulit menemukan tujuan hidup. Bahkan bisa dikatakan keduanya sama; atau paling tidak satu adalah prasyarat sebelum lainnya. Kebingungan ini lebih membingungkan bagi orang-orang yang suka banyak hal, seperti saya. Saya menyukai Sastra, Sejarah, Manajemen, Kepemimpinan, dan masih banyak lainnya. Adalah sulit bagi saya untuk memilih mana yang paling saya suka di antara yang saya suka itu. Kebingungan saya, kata teman saya yang suka menghibur, adalah kebingungan orang multi talenta. Mungkin dia sebenarnya sungkan untuk mengatakan saya tidak fokus. Hahaha.

Di satu sisi, saya merasa tidak ada salahnya dengan memiliki banyak minat. Zaman dahulu kala ini bahkan menjadi semacam ideal: the Rennaisance Man. Contoh terbaiknya adalah Leonardo Da Vinci, yang mungkin akan nyambung ketika kita ajak ngobrol soal apa saja. Spesialisasi hanya menjadikan kita sebuah sekrup saja karena tidak memberi saya perspektif yang lebih luas bagaimana sebuah sistem berjalan. Di lain sisi, saya harus mengakui kebenaran zaman ini, bahwa setiap orang perlu memiliki spesialisasi. Karena harus membagi waktu dan energi ke banyak bidang, saya merasa cuma menjadi mediocre di setiap bidang itu. Akibatnya saya sendiri merasa bersalah karena tidak pernah bisa berbuat secara optimal. Orang lain yang menggunakan jasa saya mungkin juga merugi karena merasa tidak mendapat yang optimal.     

Pada tahap awal kita seolah-olah bisa dengan cukup mudah menyelesaikan masalah ini. Misalnya: kita bisa tetap memiliki minat ke banyak bidang tapi pilih lah salah satunya sebagai spesialisasi. Beres, kan? Sayangnya tidak karena pertanyaannya tetap sama: bidang yang mana yang saya pilih sebagai spesialisasi. Semua rasanya sama-sama menarik buat saya. Saya berfikir penyelesaian dari ini adalah bukan dengan memilih karena ini akan jadi lingkaran setan. Solusinya adalah integrasi. Kita perlu mencari bidang yang dapat (sebanyak mungkin) mengintegrasikan bidang-bidang yang kita sukai itu.

Dengan cara ini, saya merasa saya menemukan bidang yang akan saya tekuni. Pada hari Sabtu lalu saya tercangkul ke sebuah laman tentang sebuah bidang … Leadership in Literature. Saya betul-betul baru tahu tentang keberadaan bidang ini. Ini rasanya seperti momen Eureka. Dari namanya saja ini sudah mengintegrasikan dua bidang yang saya suka, yaitu Sastra dan Kepemimpinan. Selanjutnya, minat saya terhadap Manajemen bisa diintegrasikan ke dalam Kepemimpinan sementara Sejarah bisa bergabung ke kedua bidang tersebut.

Perjalanan tentu saja masih panjang. Tapi paling tidak saya tahu harus ke mana dan tidak berputar-putar saja.

Kata-Kata Bijak untuk Status FB

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 05/19/2011

Gara-gara Facebook, saya suka memikirkan hal-hal yang bijak. Betapa tidak, hampir tiap menit saya dibombardir untaian kata-kata mutiara baik yang orisinil atau yang kawan-kawan saya kutip dari orang-orang hebat. Saya tidak tahu apakah mereka tengah berharap mendidik orang lain atau tengah mendidik dirinya sendiri. Kalau saya sendiri, rasanya lebih yang kedua. Saat berbagi kata-kata bijak, seringkali saya tengah menguatkan diri sendiri dan tidak sedang berharap mencerahkan orang lain. Pertanyaannya adalah: jika itu untuk diri saya sendiri, kenapa saya merasa perlu untuk membaginya di Facebook (FB)?

Orang yang sinis akan mengatakan bahwa kita sebenarnya berharap kawan-kawan kita menganggap itu hasil buah pikir kita. Supaya kita dianggap pintar atau bijak. Mungkin saja itu benar. Tapi saya yakin ada juga orang yang tidak berharap seperti itu. Ada orang yang tahu betul bahwa kawan-kawannya pasti tahu itu bukan kata-katanya sendiri. Ada orang yang bahkan selalu mengindahkan kaidah pengutipan dengan memberikan tanda kutip, menyebut penulisnya, nama bukunya, dan seterusnya. Jadi apa?

Ini memang tidak mudah untuk dijawab. Mungkin harus melibatkan psikoanalisa atau teori-teori gawat lainnya untuk mendapatkan jawaban yang tepat. Yang bisa saya sampaikan di sini mungkin hanya dugaan-dugaan. Ini pun berdasarkan perasaan saya yang konon gampang berubah.

Dugaan saya yang pertama adalah, dengan menuliskan kembali kata-kata bijak yang kita dapat, kita dapat mengingat dan memahami dengan lebih jelas kata-kata tersebut. Jadi ini semacam ‘strategi pembelajaran’ saja. Saya, misalnya, merasa lebih mudah mengingat dan memahami sesuatu dengan menulisnya kembali.  Mungkin karena menulis tidak hanya melibatkan syaraf sensorik kita tapi juga motorik. Kata orang belajar akan lebih sip jika kedua syaraf tersebut terlibat.

Mungkin ada yang bertanya, jika itu alasannya, kenapa tidak ditulis di media lain saja seperti buku harian, blog, atau lainnya. Saya kira jawabannya cukup sederhana: FB lama-kelamaan sudah menjadi one-stop media bagi kita. Mau mengunggah foto okay. Mau chat cukup okay. Mau email bisa. Mau kirim dokumen sekarang juga bisa. FB disadari atau tidak telah menjadi media yang paling dekat dan intim dengan kita. Akibatnya kita semakin enggan untuk mengakses media yang lain dalam keseharian kita.

Kedua, dengan membaginya di Facebook, kita berharap dapat mendapatkan dukungan atau sanggahan. Biasanya, sebijak apapun kata-kata mutiara itu, kita belum yakin seratus persen pada saat kita membaginya. Kita berharap kawan-kawan kita akan membenarkannya, menyetujuinya, atau cuma sekedar memberikan contoh-contoh penerapannya. Sebaliknya, kita juga diam-diam berharap ada yang menguji kata-kata bijak tersebut. Kita berharap ada yang menyanggah atau paling tidak mendiskusikannya. Dengan demikian kita jadi tahu apa yang tengah kita pelajari dan akan terapkan ini memang benar atau salah.

Ketiga, apa ya? Bagaimana menurut Anda?

jalan

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 05/13/2011

saya merasa kosong satu minggu ini. saya membuka buku untuk mencari jawaban. saya juga bertanya ke beberapa teman. saya memutar film. saya melihat teater. saya bekerja. saya merubah. saya ingin menemukan jawaban. saya mendapatkan pertanyaan.

saya ingin berhenti. tapi kaki terus berlari. mungkin saya tengah penuh. 

di minggu lain saya merasa senang. mungkin minggu depan. saya tidak bertanya. saya tidak membaca. saya tidak mencari. saya mengerti.

saya ingin berlari. tapi saya justru berhenti. mungkin saya berada dalam kekosongan. tenaga saya perlu diisi.

Malas Cemburu

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 05/09/2011

Kadang-kadang saya bisa cemburu dengan kemalasan orang. Enak sekali orang itu, demikian pikir saya, tidak bekerja tapi mendapatkan upah yang sama bahkan kadang-kadang lebih besar. Tapi setelah saya renungkan ini adalah kecemburuan yang bodoh. Terlebih jika saya menuruti kecemburuan saya dengan ikut-ikutan malas. Kenapa saya menurunkan derajat kerja saya? Kenapa saya yang malah jadi rugi dan bukan dia?

Cemburu yang baik adalah cemburu yang membuatmu semakin baik.

 

Pengamal Jurus Mabuk

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 05/09/2011

Kalau saya lihat kembali hidup saya 1,5 tahun terakhir, tanpa saya sadari sebelumnya, saya mungkin tengah mengamalkan Jurus Mabuk. Nah lo? Bukan, bukan seperti itu. Sampai saat ini saya bersyukur saya belum menjadi alcoholic meskipun sudah lama memegang kartu anggota coffeholic. Yang saya maksud dengan Jurus Mabuk di sini tidak bisa dimaknai dalam tataran praksis dan harus diresapi secara filosofis (halah). Jika Anda pernah menyaksikan film Jackie Chan yang berjudul Drunken Master, Anda akan menemukan makna filosofis ini dari uraian papa si Jackie dalam sebuah adegan.

Menurut Tuan Wong, demikian nama beliau jika saya tidak salah ingat, kekuatan utama dari Jurus Mabuk sebenarnya terletak pada keadaan mabuk dan bukan pada kuda-kuda, tendangan, pukulan, apalagi anggur kolesom-nya. Dalam keadaan mabuk, anda tidak terlalu peduli dengan rasa sakit atau bahkan tidak merasa sakit sama sekali. Biarpun ratusan Ade Ray memukuli Anda dengan Gada Rujak Polo, Anda mungkin hanya merasa tengah menjalani fisioterapi di sebuah klinik kecantikan. Dalam keadaan mabuk, Anda juga menjadi lebih berani jika bukan tidak kenal takut. Anda tiba-tiba merasa berani menantang marinir satu pangkalan meskipun biasanya Anda sudah pipis dihardik dengan anak kemarin sore.

Anda juga tidak gampang merasa malu dan bahkan dalam banyak kasus bisa memalukan saat mabuk. Jika biasanya Anda sudah tersipu-sipu mendengar suara Anda sendiri, dalam keadaan mabuk Anda bisa menyanyi dan bergoyang dengan luwesnya bak biduan di tengah-tengah perempatan. Dalam keadaan mabuk, Anda bisa merasa bahagia tanpa memerlukan alasan yang kuat dan jelas. Anda bisa merasa demikian riang meskipun tebal tagihan Anda sudah melampaui tebal kamus Purwadarminta. Anda juga cenderung berani bertindak dulu dan tidak teralu berfikir panjang soal resiko. Mengikuti intuisi dulu dan baru memikirkan aturan-aturan secara komprehensif nanti saat sadar.

Jurus Mabuk mempunyai semacam tingkatan. Jika Anda seorang pemula, Anda mungkin membutuhkan anggur kolesom, arak, tuak, cukrik, dan sejenisnya, untuk membuat Anda mabuk dan mengeluarkan jurus legendaris ini. Jika anda sudah mencapai tingkatan mahir, anda sudah tidak memerlukan bantuan mereka dan dapat mencapai keadaan mabuk ini sesuai kehendak. Demikian juga dalam hal fungsi. Jika Anda seorang pemula, mungkin Anda hanya mengamalkannya di dunia adu jotos saja. Jika Anda mau masuk lebih dalam lagi, jurus ini sebenarnya dapat diterapkan dalam hampir semua bidang kehidupan. 

Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa saya telah mencapai tingkatan fenomenal seperti dalam contoh-contoh di atas. Bisa dikatakan mabuk saya belum terlalu dalam. Masih bergelantungan di cakrawala kesadaran, begitu. Satu hal yang pasti saya bersyukur hari-hari ini saya merasa lebih tahan pukul, lebih berani, lebih tidak tahu malu, lebih riang, dan lebih bertindak. Dan semuanya itu tanpa campur tangan anggur Chateau Lafitte atau sampanye Dom Perignon (halah, lagi). Semoga saya semakin mabuk karena cinta kasih (halah!)

PHKI 2010: We got it :)

Posted in Uncategorized by dewey setiawan on 04/01/2011

Students and Teachers,

On Thursday, March 24, 2011, we received shocking news that we won the PHKI 2010 from the government. Please read the announcement.

Thank you very very much for your contribution. We badly need  your continued support.

Yes, the struggle continues!